Padang (ANTARA) - Para pelajar asal Indonesia menjalani suasana bulan puasa berbeda di Jepang dengan waktu puasa lebih panjang karena dalam kondisi musim panas.
Waktu berpuasa dimulai saat imsak sekitar pukul 03.26 waktu setempat hingga maghrib pada pukul 18.30, kata Pelajar Indonesia asal Pekanbaru, Riau, Hazalya (26) di Tokyo, Jepang, yang dihubungi melalui telepon dari Padang, Minggu.
Bulan ramadhan yang juga bertepatan dengan musim panas, katanya, waktu siangnya lebih lama daripada malam.
Hazalya, alumni Sastra Jepang, Universitas Bung Hatta Padang itu mengaku suasana puasa di Jepang di musim panas menjadi agak berat.
Disebutkannya, suhu di Tokyo kini berkisar 35 hingga 38 derajat celcius, namun panasnya dirasa lebih panas daripada di Indonesia.
Karena ada pekerjaan sampingan di sebuah restoran Indonesia di Tokyo saat malam, ia yang juga kuliah di International Travel & Hotel Business Nakamura di Chiba itu mengaku sulit membagi waktu untuk melaksanakan tarawih di masjid.
Apalagi, masjid dari dekat tempat tinggalnya agak jauh jarak tempuhnya, sehingga ia memilih melaksanakan tarawih di rumah.
Hal serupa dirasakan Yeni (30), seorang pelajar asal Padang yang juga tengah menuntut ilmu sekaligus bekerja di Jepang.
Yeni mengatakan, meskipun menjalani puasa di Jepang sangat berat, namun baginya itulah tantangannya sebagai Umat Muslim.
Matahari di Jepang saat musim panas sekarang menurutnya sangat menyengat kulit, karena tingkat kelembapanya lebih tinggi.
Waktu imasak dan berbuka, katanya, setiap hari berbeda, namun makin hari imsak semakin lama dan waktu berbuka semakin cepat.
Dikatakannya, di Jepang bulan puasa dapat masuk pada musim yang berbeda.
Pada musim dingin, kata Yeni yang telah merasakannya, waktu puasanya lebih singkat, tapi tingkat perasaan lapar lebih tinggi karena diiringi dengan suhu yang sangat dingin.
Menurutnya momen yang paling dirindukan adalah berbuka puasa bersama keluarga di kampung, apalagi menjelang lebaran.
Sebelumnya, penentuan awal bulan puasa di Tokyo mengacu pada pengumuman di Islamic Center.
Sedikitnya 25 ribu warga Indonesia di Jepang sebagian besar berada di Jepang dalam rangka menimba ilmu di sejumlah perguruan tinggi, juga ada yang bekerja di beberapa kantor swasta
ini saya ambli salah satu blog
http://fitrotunmaryono.multiply.com/journal/item/16/INI_PUASA_DI_JEPANG_BUNG
INI PUASA DI JEPANG BUNG
Alhamdulillah…., aku dipertemukan lagi dengan bulan romadhon, dan hari senin adalah puasa pertamaku di Tokyo, Jepang. Berbeda memang, karena aku berpuasa tanpa di damping keluarga…tanpa cerianya anak dan istri.
Sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia, mungkin itulah kata hatiku tadi siang… Di Indonesa ketika bulan puasa tiba..banyak tulisan hormatilah orang berpuasa…banyak warung disurung tutup dll. Ibaratnya Aku puasa maka kamu yang tidak puasa harus menghormati aku.
Tetapi ini di Jepang Bung! Siapa yang akan menghormati kamu kalau puasa? Siapa yang tahu kalau kamu puasa? Bahkan mungkin, kalau kamu menceritakan tentang puasamu kepada orang Jepang, paling dia akan bertanya, “What is fasting?” Dan kamu berusaha sedetil mungkin untuk menjelaskan dengan bangganya bahwa puasa itu tidak boleh makan, minum, mulai terbit fajar sampai detil sekali supaya mereka respect supaya mereka kasihan. Sejenak kamu akan mendapatkan kebanggaan dengan terpananya orang Jepang itu. Akan tetapi, di akhir cerita paling-paling orang Jepang itu akan memuji “Sugoi desune (hebat sekali ya).” Hanya itu yang kau dapatkan. Selanjutnya, setiap kali bertemu dengannya dia akan bertanya “Daijobu desuka? (kamu ndak apa-apa hari ini?)”
Sering terbenak dalam pikiranku “Aku lagi puasa, tolong dong hormatilah orang berpuasa!” Aku berusaha menghilangkan perasaan itu, tetapi bagaimanapun sulit menghapusnya sampai bersih di hati ini. Aku juga sadar betul bahwa kalau perasaan itu ada dihatiku maka aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sombong. Dan, kesombongan itulah yang akan melumatkan nilai pahala puasaku. Bagaimana mungkin aku akan puasa kalau tidak ada pahala? Bagaimana mungkin setelah seharian berpuasa cuma dapat lapar dan dahaga tidak mendapat pahala.
Ka…ka…ka… rasain loe, Salahnya sendiri membawa-bawa urusan dengan Tuhanmu, ke dalam urusan dengan sesamamu. Ya hanya kesombongan itu jadinya. Kamu di Jepang Bung! Jarang ada orang Jepang yang tahu akan puasa.
Di Jepang ini warung buka di mana-mana, bahkan banyak diantaranya yang buka sampai 24 jam. Ketika di Indonesia, betapa kumandang suara adzan ini menjadi acara favorit yang ditunggu-tunggu banyak orang…walaupun setelah itu tidak segera sholat…masih berleha-leha, masih menunda-nunda sholat….Kagak salah kalau Emha Ainun Najib..pernah bilang Manusia harus respect dan malu sama syaitan...Syaitan aja ketika mendengan nama tuhan alloh aja takut…ini yang namanya manusia kagak takut mendengar adzan berkumandang…
Aku ingat betul suasana ramadhan di kampung, malamnya setelah sholat terawih, kami bersama teman-teman sebaya tadarus keliling dari tumah ke rumah, habis itu tidur di Sekretariat Masjid Albarokah Warohmah. Ya, apalagi kalau bukan untuk ronda, membangunkan orang-orang kampung untuk makan sahur. Belum lagi, ini malam sahur pertama. Jangan sampai orang-orang sekampung tidak puasa karena lupa tidak sahur.
Tapi ini Jepang Bung! Mana ada ronda, mana ada orang yang berteriak sahur-sahur…Aku hanya mencari informasi dari internet waktu sahur dan waktu buka serta waktu sholat. Di Indonesia kamu selalu diingatkan oleh lingkunganmu bahwa kamu sedang puasa. Warung-warung yang biasanya terbuka ditutup kain, karaoke diskotik ditutup bahkan dipaksa tutup, apalagi panti pijat dan lokalisasi sama sekali tidak diijinkan beroperasi. Dan ada kelompok tertentu yang mengobrak-ngabrik tempat hiburan, warung makan di pinggir jalan hanya karena tidak menutup warungnya.
Masya Alloh, apa untungnya dilakukan itu. Yah, mungkin terselip jawaban seperti perasaanku siang tadi: “Hormatilah orang yang sedang puasa”, “Hormatilah orang yang sedang menjalankan ibadah Ramadhan”, “Jangan mengganggu orang yang sedang puasa”, dan kalimat-kalimat sejenis lainnya. Itu namanya kesombongan Bung! Tapi ini bukan di Indonesia, ini di Jepang. Kehidupan sehari-hari tidak ada perubahan…. Baik bulan ramadhan maupun bulan-bulan lain sama. Aku tersadar, bahwa puasaku hanya semata-mata urusanku dengan “Yang di atas sana”. Aku berpuasa untuk diriku sendiri, kalaupun dengan sesama paling-paling hanya untuk mengajari anakku latihan puasa, bukan untuk pamer kepada orang Jepang di sekitarku.
Sombong dan Egois? Kamu minta lingkungan Jepangmu untuk menghormatimu? Mana mungkin kau dapatkan. Di sinilah perasaan “gila hormat” itu mencapai titik terendah, dan Insya` Alloh kesombongan itu hilang. Di sini pula aku dapat melakukan puasa yang sesungguhnya, hanya semata-mata demi Gusti Alloh Tuhanku, Gusti yang menguasai hidup. Tanpa ada yang mengomando, tanpa ada warung yang tertutup, tanpa ada karaoke dan diskotik tutup, apalagi ada sekelompok orang yang mengobrak-ngabrik warung dipinggir jalan yang justru “merendahkan” agamaku. Sedih rasanya kenapa agama islam yang katanya agama cinta kasih..tetapi umatnya berperilaku demikian…Apakah rosul mengajari seperti itu…
Aku teringat sebuah pesan yang sering ku…dengar. “Puasamu ini hanyalah urusanmu dengan Tuhan Pengeranmu” yang maha kuasa. Jadi kamu gak usah gila hormat minta dihormati ketika kamu berpuasa, gak usah warung-warung itu disuruh tutup….kasihan orang non muslim pun butuh cari rejeki…. Kamu gak puasa juga tuhanmu itu gak rugi…puasa itu untuk dirimu dan kepentinganmu sendiri mas.